Jumat, 29 Mei 2015

ARSITEKTUR TRADISIONAL DI INDONESIA
Indonesia mempunyai berbagai macam suku bangsa yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke. Sudah tentu mempunyai ragam budaya yang berbeda pula . Mulai dari adat istiadat sampai kepada bentuk bangunan mempunyai gaya yang berbeda-beda juga. Jika kita mengamati bentuk-bentuk rumah tradisional berbagai suku di Indonesia, jelaslah bahwa arsitektur tradisional Indonesia patut dihargai dan dijaga kelestariannya. Kekayaan arsitektur tradisional Indonesia terletak pada keunikan dan gaya bangunanyang dimilikinya. Misalnya, rumah-rumah tradisional berdesain panggung mempunyai keunikan dari segi struktur dan interiornya yang mengutamakan fungsionalitas.
Di Indonesia, rumah-rumah bergaya panggung bisa ditemukan di daerah berpenduduk suku Batak danDayak. Bangunan dengan arsitektur yang unik juga dapat kita temukan pada rumah adat orang Papua. Rumah adat ini disebut Hanoi, mempunyai bentuk bangunan yang unik dengan proporsi tinggi atap lebih besar daripada tembok keliling rumahnya. Namun, bangunan ini unik karena strukturnya membuat spacedi  rumah itu memberikan sirkulasi yang memadai bagi penghuninya. Bahkan penduduk Papua memasak di dalam rumahnya dengan kayu bakar namun tetap merasa nyaman di dalam rumahnya. Jika kita mengamati satu per satu arsitektur-arsitektur tradisional di Indonesia, kitaakan takjub dan menyadari betapa uniknya negara kita. Bangsa yang membutuhkan perubahan di sana-sini dalam segi politik, sosial, dll. Tetap memiliki keunggulan dan keunikan. Banyak yang bisa kita pelajari, amati, dan eksplorasi dari gaya-gaya tradisional ini. Kesimpulannya, Indonesia patut bangga dengan kekayaan arsitektur tradisionalnya yang berbeda dan unggul dari negara-negara lain. Kita perlu berupaya melestarikan gaya tradisional ini namun tetap menyesuaikannya dengan kemajuan dan perkembangan jaman. Dengan demikian, Indonesia akan dikenal sebagai bangsa yang menghargai budayanya dan unggul dalam pengembangan di bidang arsitektur.
Apakah yang tradisional selalu tersingkir dijegal gaya modern? Yang baru kudu menggusur old model? Mari merenung sejenak. Seringkali segala sesuatu yang lama itu dibilang kuno, jadul, udik, ndeso. Tapi acap kali justru style tradisional itulah yang dalam beberapa situasi menyelamatkan manusia dari ganasnya alam.
Nenek moyang kita ratusan, mungkin ribuan tahun lalu telah belajar bagaimana bersahabat dengan alam. Ilmu gaul alam itu diturunkan dari generasi ke generasi tentu tidak hanya untuk ditiru, tapi juga dikembangkan sesuai jaman. Sudah lama saya yakin, manusia itu semestinya karib dengan alam.
Intinya, desain rumah tradisional berbahan kayu atau bambu itu, relative tahan gempa karena lentur.
Arsitektur Tradisional Kerinci
 
Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungaipenuh di sebelah kabupaten Kerinci, provinsi Jambi
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri, stabil, kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama, tukang ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi, pengertian arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik keprofesian, proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur
Arsitektur tradisional Kerinci adalah seni merancang bangunan yang bentuk, struktur, fungsi, ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dan sebagai salah satu identitas serta dapat memberi gambaran tentang tingkat kehidupan masyarakat kerinci pada waktu itu.
Arsitektur tradisional Kerinci merupakan salah satu identitas dan dapat memberikan gambaran tentang tingkat kehidupan masyarakat kerinci pada waktu itu. Pada arsitektur tradisional Kerinci, terkandung secara terpadu wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material dari suatu kebudayaan.
Contoh bangunan tradisional Kerinci adalah rumah panjang atau yang disebut juga "umoh panja" atau "umoh larik" atau "umoh laheik", yang merupakan bangunan panjang berbentuk panggung yang terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang saling sambung menyambung yang berfungsi sebagai rumah tinggal.

Bangunan ini disebut larik karena susunannya yang berlarik atau berderet-deret. Larik ini dihuni oleh beberapa keluarga yang disebut “tumbi” atau “perut” yang terdiri dari satu keturunan, yang dalam bahasa daerahnya disebut Kalbu. Setiap kalbu dipimpin oleh seorang ninik mamak.
Tipologi
Tipologi rumah panjang atau larik adalah empat persegi panjang dan berbentuk panggung, tidak ada ketentuan khusus mengenai ukurannya karena tergantung dari banyaknya keluarga yang menghuninya. Setiap keluarga atau tumbi mendiami satu petak, yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang belum menikah. Ukuran tiap petak bangunan pada umumnya panjang 5 depa dan lebarnya depa (8 meter x 6 meter).

Pola Rumah
larik berjejer memanjang dari arah Timur ke Barat sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya hingga membentuk sebuah larik. Rumah Larik Limo Luhah merupakan salah satu kawasan Rumah Larik yang terdapat dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh Sungai Penuh selain kawasan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun Baru.

Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda pusaka.
Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah yang tidak bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya, hal ini mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi.

Pekarangan rumah pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan menjemur hasil pertanian seperti
padi, kopi, dan kayu manis.

Umoh laheik, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Konsep Landscape
Konsep landscape, Rumah larik dapat dibagi berdasarkan konsep ruang makro, meso, dan mikro. Ruang makro terdiri dari ruang hutan, ruang pertanian, dan ruang pemukiman.
Hutan yang berada di daerah perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam tidak diizinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia karena berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air bagi pertanian dan pemukiman.
Ruang pertanian terdiri dari ladang (tanah kering) dan sawah (tanah basah) terdapat di kaki–kaki bukit yang berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam bagi masyarakat dan sebagai lahan cadangan untuk mendirikan pemukiman baru.
Sawah atau tanah basah merupakan tanah adat yang berstatus hak milik pribadi sesuai dengan pembagian yang telah diatur oleh Ninik Mamak.
Ruang pemukiman berada dalam area yang disebut tanah “parit sudut empat” yang merupakan batas pemukiman tradisional masyarakat adat dengan pemukiman di luarnya.
Status tanah dan rumah dalam parit sudut empat ini berstatus hak milik kaum yaitu milik anak batino dan tidak boleh diperjual belikan.
Konstruksi
Pada umumnya Konstruksi bangunan tanpa menggunakan fondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat tiang ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku, hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk.
Atap
Penutup bangunan atau atap pada masa awalnya bukan seng atau genteng seperti masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk.
Dinding
Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis kulit kayu) dan lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan rumah.
Umoh laheik ini merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga besar), dengan sistem sikat atau sekat-sekat seperti rumah bedeng. Setiap keluarga menempati satu “sikat” yang terdiri dari kamar, ruang depan, ruang belakang, selasar, dan dapur.
Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan belakang. Material pintu adalah papan tebal di tarah beliung. Antara sekat sikat terdapat pintu kecil sebagai penghubung.
Jendela
Jendela yang disebut “singap” sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang, hanya dibatasi jeruji berukir.
Sementara bagian bawah yang disebut “umin” sering hanya sebagai gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan jala, atau terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek, kelinci, kambing, dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong menjadi arena tempat bermain anak-anak.
Plafond
Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut “parra”. Atap di dekat parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut “hintu ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Di situlah keluarga bersangkutan sering menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga.

Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “pelasa”, yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum "sebuk kawo" atau
kopi dan mengisap rokok lintingan daun enau.
Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan batu sungai sebagai teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan. Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang yang biasanya sangat luas dan panjang.
Arsitektur Tradisional Ternate ,Tidore dan Halmahera
Indonesia memiliki banyak sekali arsitektur lokal semacam ini, dengan ragamnya yang amat kaya tersebar di seantero kepulauan kita. Berjenis arsitektur lokal di pelbagai daerah di Indonesia ini, jelas merupakan sumber-sumber informasi bagi pengetahuan khususnya tentang bangunan-bangunan dan lingkungan fisik yang khas dari masyarakat pribumi daerah yang bersangkutan.
Sudah diakui, bahwa dunia kini memiliki satu corak arsitektur. Perwujudannya adalah “Arsitektur Modern” yang disebut pula sebagai Arsitektur “Gaya Internasional”. Corak ini merupakan hasil dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad 19 dan 20 yang mengakibatkan sebagian kebutuhan dan persyaratan hidup menjadi relatif sama pada masyarakat-masyarakat di dunia.
Pemilikan teknik bangunan, teknologi membangun. bahan bangunan produk industri serta standar pendidikan arsitek/teknisi yang sama, terpakai dan berlaku di mana-mana, yang kemudian memperkuat kecenderungan wajah arsitektur di kota-kota dan kota-kota besar di dunia menjadi senada dan sebahasa. Asal usul gaya ini dan sejarah perkembangannya, sudah lama difikirkan dan ditulis orang, dan kini sudah merupakan pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia.
Di pihak lain, walaupun belum (atau tidak) dimasukkan dalam bagian pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia tersebut di atas, sesungguhnya di bagian-bagian lain di dunia ini masih ada lagi arsitektur dengan corak yang sangat berbeda dengan corak modern. Banyak orang belum pernah tahu, bahkan memang orang belum memberikan nama pada arsitektur jenis ini. Kita boleh menamakannya arsitektur diaiek (vernacular), arsitektur tanpa nama (anonymus), arsitektur pedesaan (rural), arsitektur asli (indigenous), arsitektur alamiah (spontaneous), atau apa pun, tapi yang jelas ia adalah arsitektur lokal, setempat, sangat khas, yang dibangun menurut tradisi budaya masyarakat yang bersangkutan.
Arsitektur-arsitektur lokal ini pada dasarnya berkaitan erat dengan hunian atau tempat tinggal beserta bangunan-bangunan dan struktur pelengkapnya (lumbung, tempat pemujaan, bangunan-bangunan tambahan, dll). Bangunan-bangunan hunian itu didirikan menurut konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan nenek moyang mereka. Perwujudan bentuk sebagai hasilnya seperti terlihat saat ini dapat dianggap tidak berbeda jauh dari perwujudan bentuk hasil tradisi yang sama pada masa-masa yang lampau walaupun perubahan-perubahan kecil maupun besar bisa saja terjadi pada masa yang silam.
Dengan demikian, kalau kita mengamati bangunan-bangunan dalam “enclave” arsitektur lokal sekarang ini, yang dianggap oleh para anggota masyarakat setempat sebagai bangunan yang struktur dan bentuknya adalah sesuai dengan tradisi budaya mereka, paling tidak, ia dapat dianggap sebagai perwujudan tradisi mereka yang sama di masa lampau.
Atas dasar anggapan ini, arsitektur lokal seperti yang dimaksud di atas dalam tulisan ini akan disebut sebagai arsitektur tradisional karena pernyataan bentuknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui bersama atau masih dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai tradisi yang turun temurun. Kini, apa yang sedang terjadi pada kantong-kantong arsitektur tradisional kita ? Beberapa kasus dapat disebutkan berikut Ini :
— Masyarakat To Lore yang sudah ribuan tahun beranak pinak dan hidup serasi dengan tanah dan- hutan di dataran tinggi Sulawesi Tengah, mungkin akan segera dipindahkan dan dimukimkan kembali ke daerah lain. Hutan dan lembah di lereng Gunung Nokilalaki tempat mereka bermukim ini akan dijadikan cagar alam dan taman nasional “Lore Kalamanta”. Tidakkah pemisahan secara drastis semacam ini, akan menimbulkan dekadensi kebudayaan dan punahnya suatu tradisi lama sebelum kita mengenalnya secara mendalam.
— Program “pemukiman kembali” yang teratur dan terarah terhadap masyarakat Badui Luar di Jawa Barat dari daerah asalnya di Kanekes ke Gunung Tunggal merupakan contoh yang sejenis dengan kasus masyarakat To Lore. Cepat atau lambat kemungkinan besar^masyarakat Badui Dalam akan mengalami pula gilirannya.
— Contoh lain adalah program “turun ke tanah” yang dilaksahakan terhadap masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan Timur, yang selain dimukimkan kembali akibat daerah pemukiman asalnya termasuk hutan yang di-”konsesikan” mereka juga diajar untuk tinggal satu keluarga dalam satu rumah, tidak lagi bersama-sama dengan keluarga-keluarga lain semasyarakat.
— Banyak sekali lingkungan dan bangunan tradisional harus dibongkar dan dihancurkan akibat dilaksanakannya rencana pelebaran jalan, atau pembangunan “fasilitas” baru bagi lingkungan (shopping center, perkantoran dll.), baik pada tingkat kota, kecamatan maupun kabupaten.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa bangunan-bangunan dan lingkungan tradisional kini berada dalam masa transisi di mana ia sedang mengalami perubahan-perubahan besar yang mengandung unsur kecenderungan untuk punah. Keinginan untuk memperbanyak usaha melakukan pencatatan dan perekaman pengetahuan tentang arsitektur tradisional adalah dalam rangka menyelamatkan pengetahuan ini agar tidak musnah bersamaan dengan musnahnya arsitektur itu sendiri.
Penelitian arsitektur tradisional di Ternate, Halmahera dan sekitarnya yang dipaparkan dalam tulisan ini, merupakan realisasi dari keinginan dan usaha tersebut di atas. Penelitian ini masih merupakan penelitian awal dari serentetan rencana penelitian serupa yang akan dilakukan pada sebanyak mungkin arsitektur tradisional daerah-daerah lain di Indonesia. Penelitian-penelitian awal ini dilaksanakan dalam kerangka “Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia” oleh Jurusan llmu-ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
PENELITIAN-PENELITIAN AWAL YANG TELAH DILAKSANAKAN

1. Ruang Lingkup.
Penelitian awal ini berusaha merekam arsitektur tradisional sebagaimana ia dibangun dan sebagaimana adanya dari beberapa lokasi di Ternate, Halmahera dan sekitarnya. Pengertian arsitektur, demikian pula arsitektur tradisional sebenarnya luas sekali. la mencakup bagian-bagian yang teraga dan juga yang tidak teraga. la mengandung standar-standar fisik dan simbolik dan ia memiliki pula banyak aspek, baik alamiah maupun manusiawi. Sebagai tahap paling awal penelitian ini membatasi diri pada perekaman kenyataan-kenyataan fisik saja dari bangunan-bangunan yang berkaitan dengan hunian atau tempat hnggal beserta bangunan-bangunan lain sebagai pelengkapnya.

2. Metode Penelitian.
a. Menentukan contoh-contoh yang kiranya mewakili bentuk hunian atau lingkungan suatu wilayah dengan bantuan kepustakaan yang ada serta wawancara di lapangan.
b. Melakukan pengukuran terhadap bangunan secara keseluruhan dan detail-detail bagian-bagian yang dianggap penting dalam arti mengandung telaah yang kaya dan majemuk. Untuk mendapatkan kesan-kesan yang menyeluruh digunakan alat potret sehingga terekam keterangan visual seperti suasana gelap/terang, warna, tekstur, hubungan-hubungan konstruksi dan bentuk-bentuk hiasan yang rumit.
c. Untuk mencatat kemungkinan adanya varian dalam suatu ‘penyelesaian arsitektural, adanya bagian-bagian yang pernah diubah atau perubahan-perubahan akibat pengaruh ikiim dan cuaca, dilakukan wawancara dengan orang-orang terpandang yang tahu dalam bidang yang bersangkutan dengan menggunakan pita kaset.
d. Menghubungkan data-data pengukuran dengan keterangan-keterangan hasil wawancara maupun literatur dan menuangkannya dalam bentuk “penggambaran kembali”. .
e. Hasil yang diperoleh adalah data-data dalam bentuk gambar-gambar yang terukur dan terskala sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

3. Hasil-hasil Penelitian Awal
Hasil-hasil penelitian awal ini merupakan arsitektur-arsitektur daerah-daerah Siko dan Facei di Ternate, Dokiri di Tidore, Taraudu (Sahu), Cempaka (Sahu), Katana (Tobelo) dan Galela di Halmahera. Gambar-gambar dan keterangan-keterangan yang diberikan di sini, diambil dan merupakan sebagian kecil dari bahan laporan data.

KESIMPULAN-KESIMPULAN SEMENTARA

Pra-penelitian yang hanya mengamati kenyataan-kenyataan fisik ini sangat dibatasi oleh obyek yang ada, sifat-sifatnya dan jumlah yang berhasil diamati.
Sesungguhnya makin beragam dan majemuk serta makin banyak jumlah obyek yang diamati, akan makin memperhalus hasil yang dapat diperoleh. Pada penelitian awal yang telah dilakukan ini masih dianggap bahwa obyek yang diamati terlampau sedikit sehingga dalam menarik hasil daripadanya peneliti banyak melakukan “rampatan” (generalization). Oleh karena itu hasil-hasil ini perlu dianggap sebagai hasil yang masih bersifat sementara.

Dari hasil rekaman yang sudah dikumpulkan, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sementara yang menunjukkan sifat-sifat umum arsitektur tradisional Halmahera dan sekitarnya, sebagai benkut :
a. Bangunan-bangunan tempat tinggal umumnya konsentris, terdiri dari bagian inti di tengah (bilik dalam) dan bagian-bagian luar yang mengelilingi bagian inti (bilik luar).
b. Bangunan-bangunan ini sebagian berdiri dengan lantai diangkat ±90 -150 cm di atas tanah (Siko, Pacei, Taraudu) dan sebagian lagi berlantai langsung di atas tanah (Dokiri, Katana, Galela). (c) Struktur bangunan adalah s’stem rangka (skeleton) dari kayu, bambu dan kombinasi dari keduanya.

d. Bentuk bangunan adalah geometris, bentuk tetap segi delapan, dengan bagian yang tertinggi berbentuk pelana mengindikasikan bilik dalam sebagai bagian yang terpenting dari rumah.
e. Bahan bangunan yang dipakai adalah bahan bangunan lokal, yang langsung terdapat di daerah itu seperti : kayu untuk rangka rumah; bambu untuk tulangan utama dinding, untuk tulangan dasar dari dinding, untuk bahan dinding/lantai (bambu belah); daun nipah untuk bahan atap, dan untuk dinding (pelepahnya).

f. Tiang-tiang utama rangka rumah dan tulangan dasar dinding berdiri di atas umpak batu.
g. Penyelesaian-penyelesaian detail sambungan konstruksi dan ke-mampuan membuat aneka ragam ornamen cukup unik, menun-jukkan adanya potensi pertukangan yang besar (skilled).
h. Bangunan-bangunan memberikan asosiasi pada bentuk kapal.
KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN PENELITIAN LEBIH LANJUT
Dalam Laporan Pra-penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia, telah disebut kemungkinan-kemungkinan penelitian lebih lanjut, yang jelas berlaku pula bagi kelanjutan penelitian awal terhadap arsitektur tradisional Ternate dan Halmahera. Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman dari keadaannya pada satu waktu tertentu. Dengan perkataan lain, perekaman ini pada waktu-waktu tertentu di masa yang akan datang perlu dikerjakan lagi secara berkala tapi terus menerus agar dapat menghasilkan rekaman-rekaman yang dapat memperlihatkan po/a perubahannya di kemudian hari. Perekaman terus menerus ini akan dapat memberikan petunjuk akan arah-arah perubahan yang disukai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang bersangkutan. Langkah selanjutnya adalah meneliti perangai seseorang atau sekelompok masyarakat tersebut, dalam menghadapi setiap bentuk perubahan di tengah-tengah pembangunan ini.

2. Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman petunjuk-petunjuk untuk menyempurnakan metode penelitian yang dianut sebelumnya. Dengan metode yang disempurnakan ini penelitian-penelitian serupa dapat segera diterapkan pada daerah-daerah lain guna memperkaya jumlah obyek yang diamati sehingga dengan demikian generalisasi yang terpaksa telah di-lakukan pada hasil-hasil penelitian yang sekarang dapat diper-halus.
3. Penelitian ini pun dapat membuka mata ke arah kenyataan akan adanya hubungan timbal balik antara “kepercayaan” (yakni hu-bungan kejiwaan antara manusia dengan alam lingkungannya) dengan pemanfaatan atau pengolahan benda. Hal ini menunjuk kepada gejala-gejala semiologik/semiotika, kaidah-kaidah linguis-tik atau penciptaan simbol-simbol, yang pada gilirannya merupa-kan bagian dari environmental communication. Hasil dari kegiatan ini akan mencakup berbagai bidang keilmuan.
ARSITEKTUR TRADISIONAL TANA TORAJA
Tana Toraja memiliki arsitektur tradisonal berupa rumah adat Tongkonan yang berada di desa Kete Kesu.Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang artinya  duduk.Desa Kete Kesu merupakan desa tertua di Toraja yang berumur 700 tahun lebih.Unesco menetapkan Bori Parinding  tempat melakukan upacara adat pemakaman yang terdapat di Tana Toraja sebagai warisan budaya dunia.Ciri utama rumah adat Toraja adalah tanduk kerbau yang terdpat di depan Tongkonan.
Kepercayaan : Aluk Todolo –agama leleuhur/agama purba Yang dibawa pada Dinasti 9 Tangdilino
Upacara adat tradisonal terdiri dari:
  • Rambu Tuko yaitu upacara kegembiraan, kelahiran, pernikahan
  • Rambu Solo yaitu upacara kematian
Dinasti Tomanurung adalah yang memperkenalkan system kerajaan, pelapisan social masyarakat di Tana Toraja.
Jenis rumah Tongkonan ada 3 yaitu:
  • Tongkonan Layuk untuk Raja
  • Tongkonan Pekamberan untuk rumah adat
  • Tongkonan Batu Ariri untuk rakyat/ keluarga
Ragam Hias Tana Toraja yaitu:
  • Kabongo adalah kepala kerbau belang hitam putih
  • Katik adalah ornament kepala ayam jantan yang merupakan symbol norma dan adat yang harus dipatuhi
Rumah adat Tongkonan menghadap kearah utara sedangkan alang atau lumbung menghadap ke selatan.Maka sering disebut sebagai sepasang sejoli.
Bagian-bagian rumah Tongkonan yaitu
  • Ulu Banua (atap)
  • Kalle Banua (badan)
  • Suluk Banua (kaki)
Struktur Tongkonan
  • Ulu Banua / atap (dari rotan dan ijuk) yaitu atap terbuat dari bambu pilihan yang disusun tumpang tindih kemudian diikat dengan reng bambu dan tali bamboo/rotan.
  • Kalle Banua/badan(dari kayu uru, kayu kecapi)  yaitu lantai Tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disususn diatas pembalokan lantai.kemudian disusun memanjang sejajar balok utama.Sedangkan untuk alang atau lumbung terbuat dari kayu banga.
  • Suluk Banua ( kaki ) yaitu kolom/ tiang ariri terbuat dari kayu uru,sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung sejenis pohon palem.Bentuk kolomnya persegi panjang,pada alang bentuk kolom bulat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar