ARSITEKTUR
TRADISIONAL DI INDONESIA
Indonesia mempunyai berbagai macam suku bangsa yang
berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke. Sudah tentu mempunyai ragam budaya
yang berbeda pula . Mulai dari adat istiadat sampai
kepada bentuk bangunan mempunyai gaya yang berbeda-beda juga. Jika kita
mengamati bentuk-bentuk rumah tradisional berbagai suku di
Indonesia, jelaslah bahwa arsitektur tradisional Indonesia patut dihargai
dan dijaga kelestariannya. Kekayaan arsitektur tradisional Indonesia terletak
pada keunikan dan gaya bangunanyang dimilikinya. Misalnya, rumah-rumah
tradisional berdesain panggung mempunyai keunikan dari segi struktur dan
interiornya yang mengutamakan fungsionalitas.
Apakah
yang tradisional selalu tersingkir dijegal gaya modern? Yang baru kudu menggusur
old model? Mari merenung sejenak. Seringkali segala sesuatu yang lama itu
dibilang kuno, jadul, udik, ndeso. Tapi acap kali justru style tradisional
itulah yang dalam beberapa situasi menyelamatkan manusia dari ganasnya alam.
Nenek
moyang kita ratusan, mungkin ribuan tahun lalu telah belajar bagaimana
bersahabat dengan alam. Ilmu gaul alam itu diturunkan dari generasi ke generasi
tentu tidak hanya untuk ditiru, tapi juga dikembangkan sesuai jaman. Sudah lama
saya yakin, manusia itu semestinya karib dengan alam.
Intinya,
desain rumah tradisional berbahan kayu atau bambu itu, relative tahan gempa
karena lentur.
Arsitektur
Tradisional Kerinci
Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungaipenuh di sebelah kabupaten Kerinci, provinsi Jambi
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal,
utama, otentik. Tektoon berarti berdiri, stabil, kokoh, stabil statis. Jadi
arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama, tukang ahli bangunan
(Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi, pengertian arsitektur dapat
disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik keprofesian, proses
membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur
Arsitektur tradisional Kerinci adalah seni merancang bangunan yang bentuk, struktur,
fungsi, ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta
dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dan sebagai salah satu
identitas serta dapat memberi gambaran tentang tingkat kehidupan masyarakat
kerinci pada waktu itu.
Arsitektur tradisional Kerinci
merupakan salah satu identitas dan dapat memberikan gambaran tentang tingkat
kehidupan masyarakat kerinci pada waktu itu. Pada arsitektur tradisional Kerinci, terkandung
secara terpadu wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material dari suatu kebudayaan.
Contoh bangunan tradisional Kerinci
adalah rumah panjang atau yang disebut juga "umoh panja" atau
"umoh larik" atau
"umoh laheik", yang
merupakan bangunan panjang berbentuk panggung yang terdiri dari beberapa
deretan rumah petak yang saling sambung menyambung yang berfungsi sebagai rumah
tinggal.
Bangunan ini disebut larik karena susunannya yang berlarik atau berderet-deret. Larik ini dihuni oleh beberapa keluarga yang disebut “tumbi” atau “perut” yang terdiri dari satu keturunan, yang dalam bahasa daerahnya disebut Kalbu. Setiap kalbu dipimpin oleh seorang ninik mamak.
Bangunan ini disebut larik karena susunannya yang berlarik atau berderet-deret. Larik ini dihuni oleh beberapa keluarga yang disebut “tumbi” atau “perut” yang terdiri dari satu keturunan, yang dalam bahasa daerahnya disebut Kalbu. Setiap kalbu dipimpin oleh seorang ninik mamak.
Tipologi
Tipologi rumah panjang atau larik adalah empat persegi panjang dan berbentuk panggung,
tidak ada ketentuan khusus mengenai ukurannya karena tergantung dari banyaknya
keluarga yang menghuninya. Setiap keluarga atau tumbi mendiami satu petak, yang
terdiri dari bapak, ibu dan anak yang belum menikah. Ukuran tiap petak bangunan
pada umumnya panjang 5 depa dan lebarnya depa (8 meter x 6 meter).
Pola Rumah larik berjejer memanjang dari arah Timur ke Barat sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya hingga membentuk sebuah larik. Rumah Larik Limo Luhah merupakan salah satu kawasan Rumah Larik yang terdapat dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh Sungai Penuh selain kawasan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun Baru.
Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda pusaka.
Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah yang tidak bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya, hal ini mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi.
Pekarangan rumah pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan menjemur hasil pertanian seperti padi, kopi, dan kayu manis.
Umoh laheik, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Pola Rumah larik berjejer memanjang dari arah Timur ke Barat sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya hingga membentuk sebuah larik. Rumah Larik Limo Luhah merupakan salah satu kawasan Rumah Larik yang terdapat dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh Sungai Penuh selain kawasan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun Baru.
Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda pusaka.
Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam rumah yang tidak bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah di sebelahnya, hal ini mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi.
Pekarangan rumah pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan menjemur hasil pertanian seperti padi, kopi, dan kayu manis.
Umoh laheik, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Konsep Landscape
Konsep landscape, Rumah larik dapat dibagi berdasarkan konsep
ruang makro, meso, dan mikro. Ruang makro terdiri dari ruang hutan, ruang pertanian, dan ruang pemukiman.
Hutan yang berada di daerah perbukitan dengan kemiringan yang
cukup curam tidak diizinkan untuk dimanfaatkan oleh manusia karena berfungsi
sebagai daerah resapan dan sumber air bagi pertanian dan pemukiman.
Ruang pertanian terdiri dari ladang (tanah kering) dan
sawah (tanah basah) terdapat di kaki–kaki bukit yang berfungsi sebagai lahan
untuk bercocok tanam bagi masyarakat dan sebagai lahan cadangan untuk
mendirikan pemukiman baru.
Sawah atau tanah basah merupakan tanah adat yang berstatus
hak milik pribadi sesuai dengan pembagian yang telah diatur oleh Ninik Mamak.
Ruang pemukiman berada dalam area yang disebut tanah
“parit sudut empat” yang merupakan batas pemukiman tradisional masyarakat adat
dengan pemukiman di luarnya.
Status tanah dan rumah dalam parit sudut empat ini
berstatus hak milik kaum yaitu milik anak batino dan tidak boleh diperjual
belikan.
Konstruksi
Pada umumnya Konstruksi bangunan tanpa menggunakan fondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat tiang
ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku, hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk.
Atap
Penutup bangunan atau atap pada masa awalnya bukan seng atau genteng seperti masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk.
Dinding
Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup
(sejenis kulit kayu) dan lantainya papan yang di-tarah dengan beliung.
Material-material itu tidaklah memberatkan rumah.
Umoh laheik ini merupakan tempat tinggal tumbi (keluarga
besar), dengan sistem sikat atau sekat-sekat seperti rumah bedeng. Setiap
keluarga menempati satu “sikat” yang terdiri dari kamar, ruang depan, ruang
belakang, selasar, dan dapur.
Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni
bagian depan dan belakang. Material pintu adalah papan tebal di tarah beliung.
Antara sekat sikat terdapat pintu kecil sebagai penghubung.
Jendela
Jendela yang disebut “singap” sekaligus merupakan ventilasi
angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern
saat sekarang, hanya dibatasi jeruji berukir.
Sementara bagian bawah yang disebut “umin” sering hanya
sebagai gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan
jala, atau terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek, kelinci, kambing, dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong menjadi arena
tempat bermain anak-anak.
Plafond
Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut “parra”. Atap di dekat
parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut
“hintu ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Di situlah keluarga
bersangkutan sering menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga.
Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “pelasa”, yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum "sebuk kawo" atau kopi dan mengisap rokok lintingan daun enau.
Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “pelasa”, yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum "sebuk kawo" atau kopi dan mengisap rokok lintingan daun enau.
Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan
batu sungai sebagai teras sehingga rumah terkesan
tidak berpekarangan. Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di
halaman belakang yang biasanya sangat luas dan panjang.
Arsitektur
Tradisional Ternate ,Tidore dan Halmahera
Indonesia
memiliki banyak sekali arsitektur lokal semacam ini, dengan ragamnya yang amat
kaya tersebar di seantero kepulauan kita. Berjenis arsitektur lokal di pelbagai
daerah di Indonesia ini, jelas merupakan sumber-sumber informasi bagi
pengetahuan khususnya tentang bangunan-bangunan dan lingkungan fisik yang khas
dari masyarakat pribumi daerah yang bersangkutan.
Sudah
diakui, bahwa dunia kini memiliki satu corak arsitektur. Perwujudannya adalah
“Arsitektur Modern” yang disebut pula sebagai Arsitektur “Gaya Internasional”.
Corak ini merupakan hasil dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi abad 19 dan 20 yang mengakibatkan sebagian kebutuhan dan persyaratan
hidup menjadi relatif sama pada masyarakat-masyarakat di dunia.
Pemilikan
teknik bangunan, teknologi membangun. bahan bangunan produk industri serta
standar pendidikan arsitek/teknisi yang sama, terpakai dan berlaku di
mana-mana, yang kemudian memperkuat kecenderungan wajah arsitektur di kota-kota
dan kota-kota besar di dunia menjadi senada dan sebahasa. Asal usul gaya ini
dan sejarah perkembangannya, sudah lama difikirkan dan ditulis orang, dan kini
sudah merupakan pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia.
Di
pihak lain, walaupun belum (atau tidak) dimasukkan dalam bagian
pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia tersebut di atas, sesungguhnya di
bagian-bagian lain di dunia ini masih ada lagi arsitektur dengan corak yang
sangat berbeda dengan corak modern. Banyak orang belum pernah tahu, bahkan
memang orang belum memberikan nama pada arsitektur jenis ini. Kita boleh
menamakannya arsitektur diaiek (vernacular), arsitektur tanpa nama (anonymus),
arsitektur pedesaan (rural), arsitektur asli (indigenous),
arsitektur alamiah (spontaneous), atau apa pun, tapi yang jelas ia
adalah arsitektur lokal, setempat, sangat khas, yang dibangun menurut tradisi
budaya masyarakat yang bersangkutan.
Arsitektur-arsitektur
lokal ini pada dasarnya berkaitan erat dengan hunian atau tempat tinggal
beserta bangunan-bangunan dan struktur pelengkapnya (lumbung, tempat
pemujaan, bangunan-bangunan tambahan, dll). Bangunan-bangunan hunian itu
didirikan menurut konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan
nenek moyang mereka. Perwujudan bentuk sebagai hasilnya seperti terlihat saat
ini dapat dianggap tidak berbeda jauh dari perwujudan bentuk hasil tradisi yang
sama pada masa-masa yang lampau walaupun perubahan-perubahan kecil maupun besar
bisa saja terjadi pada masa yang silam.
Dengan
demikian, kalau kita mengamati bangunan-bangunan dalam “enclave” arsitektur
lokal sekarang ini, yang dianggap oleh para anggota masyarakat setempat sebagai
bangunan yang struktur dan bentuknya adalah sesuai dengan tradisi budaya
mereka, paling tidak, ia dapat dianggap sebagai perwujudan tradisi mereka yang
sama di masa lampau.
Atas
dasar anggapan ini, arsitektur lokal seperti yang dimaksud di atas dalam
tulisan ini akan disebut sebagai arsitektur tradisional karena pernyataan
bentuknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui bersama atau masih dianut
oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai tradisi yang turun temurun.
Kini, apa yang sedang terjadi pada kantong-kantong arsitektur tradisional kita
? Beberapa kasus dapat disebutkan berikut Ini :
—
Masyarakat To Lore yang sudah ribuan tahun beranak pinak dan hidup serasi
dengan tanah dan- hutan di dataran tinggi Sulawesi Tengah, mungkin akan segera
dipindahkan dan dimukimkan kembali ke daerah lain. Hutan dan lembah di lereng
Gunung Nokilalaki tempat mereka bermukim ini akan dijadikan cagar alam dan
taman nasional “Lore Kalamanta”. Tidakkah pemisahan secara drastis semacam ini,
akan menimbulkan dekadensi kebudayaan dan punahnya suatu tradisi lama sebelum
kita mengenalnya secara mendalam.
—
Program “pemukiman kembali” yang teratur dan terarah terhadap masyarakat Badui
Luar di Jawa Barat dari daerah asalnya di Kanekes ke Gunung Tunggal merupakan
contoh yang sejenis dengan kasus masyarakat To Lore. Cepat atau lambat
kemungkinan besar^masyarakat Badui Dalam akan mengalami pula gilirannya.
—
Contoh lain adalah program “turun ke tanah” yang dilaksahakan terhadap
masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan Timur, yang selain dimukimkan kembali
akibat daerah pemukiman asalnya termasuk hutan yang di-”konsesikan” mereka juga
diajar untuk tinggal satu keluarga dalam satu rumah, tidak lagi bersama-sama
dengan keluarga-keluarga lain semasyarakat.
—
Banyak sekali lingkungan dan bangunan tradisional harus dibongkar dan
dihancurkan akibat dilaksanakannya rencana pelebaran jalan, atau pembangunan
“fasilitas” baru bagi lingkungan (shopping center, perkantoran dll.),
baik pada tingkat kota, kecamatan maupun kabupaten.
Contoh-contoh
di atas menunjukkan bahwa bangunan-bangunan dan lingkungan tradisional kini
berada dalam masa transisi di mana ia sedang mengalami perubahan-perubahan
besar yang mengandung unsur kecenderungan untuk punah. Keinginan untuk
memperbanyak usaha melakukan pencatatan dan perekaman pengetahuan tentang
arsitektur tradisional adalah dalam rangka menyelamatkan pengetahuan ini agar
tidak musnah bersamaan dengan musnahnya arsitektur itu sendiri.
Penelitian
arsitektur tradisional di Ternate, Halmahera dan sekitarnya yang dipaparkan
dalam tulisan ini, merupakan realisasi dari keinginan dan usaha tersebut di
atas. Penelitian ini masih merupakan penelitian awal dari serentetan rencana
penelitian serupa yang akan dilakukan pada sebanyak mungkin arsitektur
tradisional daerah-daerah lain di Indonesia. Penelitian-penelitian awal ini
dilaksanakan dalam kerangka “Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia” oleh
Jurusan llmu-ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
PENELITIAN-PENELITIAN
AWAL YANG TELAH DILAKSANAKAN
1. Ruang Lingkup.
1. Ruang Lingkup.
Penelitian
awal ini berusaha merekam arsitektur tradisional sebagaimana ia dibangun dan
sebagaimana adanya dari beberapa lokasi di Ternate, Halmahera dan sekitarnya.
Pengertian arsitektur, demikian pula arsitektur tradisional sebenarnya luas
sekali. la mencakup bagian-bagian yang teraga dan juga yang tidak teraga. la
mengandung standar-standar fisik dan simbolik dan ia memiliki pula banyak
aspek, baik alamiah maupun manusiawi. Sebagai tahap paling awal penelitian ini
membatasi diri pada perekaman kenyataan-kenyataan fisik saja dari
bangunan-bangunan yang berkaitan dengan hunian atau tempat hnggal beserta
bangunan-bangunan lain sebagai pelengkapnya.
2. Metode Penelitian.
a.
Menentukan contoh-contoh yang kiranya mewakili bentuk hunian atau lingkungan
suatu wilayah dengan bantuan kepustakaan yang ada serta wawancara di lapangan.
b.
Melakukan pengukuran terhadap bangunan secara keseluruhan dan detail-detail
bagian-bagian yang dianggap penting dalam arti mengandung telaah yang kaya dan
majemuk. Untuk mendapatkan kesan-kesan yang menyeluruh digunakan alat potret
sehingga terekam keterangan visual seperti suasana gelap/terang, warna,
tekstur, hubungan-hubungan konstruksi dan bentuk-bentuk hiasan yang rumit.
c.
Untuk mencatat kemungkinan adanya varian dalam suatu ‘penyelesaian
arsitektural, adanya bagian-bagian yang pernah diubah atau perubahan-perubahan
akibat pengaruh ikiim dan cuaca, dilakukan wawancara dengan orang-orang
terpandang yang tahu dalam bidang yang bersangkutan dengan menggunakan pita
kaset.
d.
Menghubungkan data-data pengukuran dengan keterangan-keterangan hasil wawancara
maupun literatur dan menuangkannya dalam bentuk “penggambaran kembali”. .
e.
Hasil yang diperoleh adalah data-data dalam bentuk gambar-gambar yang terukur
dan terskala sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Hasil-hasil
penelitian awal ini merupakan arsitektur-arsitektur daerah-daerah Siko dan
Facei di Ternate, Dokiri di Tidore, Taraudu (Sahu), Cempaka (Sahu),
Katana (Tobelo) dan Galela di Halmahera. Gambar-gambar dan
keterangan-keterangan yang diberikan di sini, diambil dan merupakan sebagian
kecil dari bahan laporan data.
KESIMPULAN-KESIMPULAN SEMENTARA
Pra-penelitian yang hanya mengamati kenyataan-kenyataan fisik ini sangat dibatasi oleh obyek yang ada, sifat-sifatnya dan jumlah yang berhasil diamati.
Sesungguhnya
makin beragam dan majemuk serta makin banyak jumlah obyek yang diamati, akan
makin memperhalus hasil yang dapat diperoleh. Pada penelitian awal yang telah
dilakukan ini masih dianggap bahwa obyek yang diamati terlampau sedikit
sehingga dalam menarik hasil daripadanya peneliti banyak melakukan “rampatan” (generalization).
Oleh karena itu hasil-hasil ini perlu dianggap sebagai hasil yang masih
bersifat sementara.
Dari hasil rekaman yang sudah dikumpulkan, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sementara yang menunjukkan sifat-sifat umum arsitektur tradisional Halmahera dan sekitarnya, sebagai benkut :
a.
Bangunan-bangunan tempat tinggal umumnya konsentris, terdiri dari bagian inti
di tengah (bilik dalam) dan bagian-bagian luar yang mengelilingi bagian
inti (bilik luar).
b.
Bangunan-bangunan ini sebagian berdiri dengan lantai diangkat ±90 -150 cm di
atas tanah (Siko, Pacei, Taraudu) dan sebagian lagi berlantai langsung
di atas tanah (Dokiri, Katana, Galela). (c) Struktur bangunan adalah
s’stem rangka (skeleton) dari kayu, bambu dan kombinasi dari keduanya.
d. Bentuk bangunan adalah geometris, bentuk tetap segi delapan, dengan bagian yang tertinggi berbentuk pelana mengindikasikan bilik dalam sebagai bagian yang terpenting dari rumah.
e.
Bahan bangunan yang dipakai adalah bahan bangunan lokal, yang langsung terdapat
di daerah itu seperti : kayu untuk rangka rumah; bambu untuk tulangan utama
dinding, untuk tulangan dasar dari dinding, untuk bahan dinding/lantai (bambu
belah); daun nipah untuk bahan atap, dan untuk dinding (pelepahnya).
KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN
PENELITIAN LEBIH LANJUT
Dalam
Laporan Pra-penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia, telah disebut
kemungkinan-kemungkinan penelitian lebih lanjut, yang jelas berlaku pula bagi
kelanjutan penelitian awal terhadap arsitektur tradisional Ternate dan
Halmahera. Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman dari keadaannya pada
satu waktu tertentu. Dengan perkataan lain, perekaman ini pada waktu-waktu
tertentu di masa yang akan datang perlu dikerjakan lagi secara berkala tapi
terus menerus agar dapat menghasilkan rekaman-rekaman yang dapat memperlihatkan
po/a perubahannya di kemudian hari. Perekaman terus menerus ini akan dapat
memberikan petunjuk akan arah-arah perubahan yang disukai oleh seseorang atau
sekelompok masyarakat yang bersangkutan. Langkah selanjutnya adalah meneliti
perangai seseorang atau sekelompok masyarakat tersebut, dalam menghadapi setiap
bentuk perubahan di tengah-tengah pembangunan ini.
2. Rekaman-rekaman yang telah diperoleh, merupakan rekaman petunjuk-petunjuk untuk menyempurnakan metode penelitian yang dianut sebelumnya. Dengan metode yang disempurnakan ini penelitian-penelitian serupa dapat segera diterapkan pada daerah-daerah lain guna memperkaya jumlah obyek yang diamati sehingga dengan demikian generalisasi yang terpaksa telah di-lakukan pada hasil-hasil penelitian yang sekarang dapat diper-halus.
3.
Penelitian ini pun dapat membuka mata ke arah kenyataan akan adanya hubungan
timbal balik antara “kepercayaan” (yakni hu-bungan kejiwaan antara manusia
dengan alam lingkungannya) dengan pemanfaatan atau pengolahan benda. Hal
ini menunjuk kepada gejala-gejala semiologik/semiotika, kaidah-kaidah
linguis-tik atau penciptaan simbol-simbol, yang pada gilirannya merupa-kan
bagian dari environmental communication. Hasil dari kegiatan ini akan mencakup
berbagai bidang keilmuan.
ARSITEKTUR
TRADISIONAL TANA TORAJA
Tana
Toraja memiliki arsitektur tradisonal berupa rumah adat Tongkonan yang berada
di desa Kete Kesu.Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang artinya
duduk.Desa Kete Kesu merupakan desa tertua di Toraja yang berumur 700 tahun
lebih.Unesco menetapkan Bori Parinding tempat melakukan upacara adat
pemakaman yang terdapat di Tana Toraja sebagai warisan budaya dunia.Ciri utama
rumah adat Toraja adalah tanduk kerbau yang terdpat di depan Tongkonan.
Kepercayaan
: Aluk Todolo –agama leleuhur/agama purba Yang dibawa pada Dinasti 9 Tangdilino
Upacara
adat tradisonal terdiri dari:
- Rambu Tuko yaitu upacara kegembiraan, kelahiran, pernikahan
- Rambu Solo yaitu upacara kematian
Dinasti
Tomanurung adalah yang memperkenalkan system kerajaan, pelapisan social
masyarakat di Tana Toraja.
Jenis
rumah Tongkonan ada 3 yaitu:
- Tongkonan Layuk untuk Raja
- Tongkonan Pekamberan untuk rumah adat
- Tongkonan Batu Ariri untuk rakyat/ keluarga
Ragam
Hias Tana Toraja yaitu:
- Kabongo adalah kepala kerbau belang hitam putih
- Katik adalah ornament kepala ayam jantan yang merupakan symbol norma dan adat yang harus dipatuhi
Rumah
adat Tongkonan menghadap kearah utara sedangkan alang atau lumbung menghadap ke
selatan.Maka sering disebut sebagai sepasang sejoli.
Bagian-bagian
rumah Tongkonan yaitu
- Ulu Banua (atap)
- Kalle Banua (badan)
- Suluk Banua (kaki)
Struktur
Tongkonan
- Ulu Banua / atap (dari rotan dan ijuk) yaitu atap terbuat dari bambu pilihan yang disusun tumpang tindih kemudian diikat dengan reng bambu dan tali bamboo/rotan.
- Kalle Banua/badan(dari kayu uru, kayu kecapi) yaitu lantai Tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disususn diatas pembalokan lantai.kemudian disusun memanjang sejajar balok utama.Sedangkan untuk alang atau lumbung terbuat dari kayu banga.
- Suluk Banua ( kaki ) yaitu kolom/ tiang ariri terbuat dari kayu uru,sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung sejenis pohon palem.Bentuk kolomnya persegi panjang,pada alang bentuk kolom bulat